Sidang Anak ; Dua Jagung Penyebab Trauma
Peringatan lisan diterima Nurul Ambarwati dari sekolah anaknya, SMPN 2 Maospati, Magetan, Jawa Timur. Isi peringatan itu: Nurul diminta segera mencari sekolah baru untuk anaknya, RA, atau memilih RA tidak naik kelas.
Keputusan pihak sekolah itu adalah buntut vonis bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri (PN) Magetan kepada RA, Rabu pekan lalu. Bocah berusia 15 tahun itu dinyatakan bersalah mencuri dua buah jagung. "Anak saya sekarang jadi trauma, meski persidangan sudah selesai," ujar Nurul kepada Gatra.
Ironis memang, di usia belia, RA harus mengalami pahitnya proses persidangan. Bahkan siswa kelas VIII SMP ini sempat dijebloskan ke sel tahanan bersama lima bocah sekampungnya: AAS, 14 tahun, FAR, 17 tahun, DTS, 17 tahun, AHK, 17 tahun, dan IPMY, 17 tahun. Mereka didakwa melanggar Pasal 363 ayat ke-1 butir 4 KUHP tentang pencurian yang memberatkan. Ancaman hukumannya paling lama tujuh tahun penjara.
Hakim tunggal PN Magetan, Chairil Anwar, menghukum keenam bocah itu masing-masing dengan pidana penjara selama 56 hari. Namun mereka tidak perlu menjalani tahanan. Sebab hukuman itu sama dengan masa tahanan yang telah dijalani para terdakwa ketika ditahan di Polsek Maospati dan Rumah Tahanan Magetan. "Saya masih melihat sisi kemanusiaannya dan mereka mengakui kesalahannya. Ini meringankan hukuman mereka," kata Chairil Anwar, mengomentari vonisnya itu, kepada Gatra.
Sementara itu, Jaksa Sukisno mengaku tak keberatan atas vonis hakim itu, kendati jauh lebih ringan dari tuntutan yang ia ajukan, yakni tiga bulan penjara. "Setidaknya, unsur edukasi dan membuat jera pelaku sudah terpenuhi. Mudah-mudahan masyarakat belajar dari kasus ini," tuturnya.
Kasus yang menyeret enam bocah itu ke meja hijau bermula pada suatu pagi, 23 Juni lalu. Ketika itu, mereka berencana memancing di sungai. Mereka berjalan kaki menyusuri jalan kampung yang melewati kebun jagung. Saat itulah muncul gagasan untuk mengambil beberapa buah jagung untuk dibakar, kemudian dimakan sambil memancing.
Ide nakal khas anak-anak itu langsung diiyakan. Mereka berhamburan ke kebun jagung. Karena sekadar "iseng", jagung yang diambil pun tidak begitu banyak. Masing-masing bocah hanya mengambil dua hingga tiga buah jagung. "Saya memang ikut mengambil jagung, tapi cuma dua," kata RA.
Kisah berlanjut. Sebelum bocah-bocah tadi beranjak jauh dari kebun jagung, tiba-tiba muncul Sarbini, yang ternyata penjaga kebun jagung itu. Dengan segala amarahnya, Sarbini berteriak maling sembari mengejar bocah-bocah itu. Sial bagi RA dan AAS. Dua bocah yang usianya paling muda itu tak bisa berlari sekencang rekan-rekannya. Sarbini berhasil menangkap mereka. "Ayo, ikut ke kantor polisi. Ini sudah keterlaluan!" bentak Sarbini, seperti ditirukan RA.
Mereka lalu dibawa ke kantor Polsek Maospati. Beberapa jagung yang dipetik para bocah itu ikut dibawa sebagai barang bukti. Di sana, dua bocah itu hanya bisa menangis dan meminta maaf sambil berjanji tidak akan mengulangi perbuatan mereka. Toh, semua itu tak mampu mengetuk nurani Sarbini dan polisi yang memeriksa bocah-bocah itu. Bahkan polisi menginterogasi dua bocah tadi layaknya penjahat sungguhan. Polisi meminta RA dan ASS menyebut nama bocah-bocah lain yang ikut mencuri jagung.
Berharap bisa segera dilepas polisi, RA dan ASS menyebut nama teman-temannya. Tapi, setelah memenuhi permintaan polisi, RA dan ASS dijebloskan ke sel tahanan. Esok harinya, empat bocah lain menyusul ditahan. Seminggu menginap di sel tahanan polsek, mereka dipindahkan ke Rumah Tahanan Magetan. Selama di dalam penjara, enam bocah itu hanya bisa meratapi nasib dan berputus asa. "Saya rasanya seperti tidak punya masa depan. Masak gara-gara dua buah jagung, saya ditahan," tutur RA, menyesal.
Apa pun penyesalan RA, palu hakim sudah diketukkan. Menurut Chairil Anwar, kasus ini diharapkan bisa menjadi pelajaran bagi masyarakat. Ia mengingatkan, jika masyarakat menghadapi pelanggaran hukum yang sifatnya ringan, seperti mencuri jagung, apalagi pelakunya anak-anak, sebaiknya terlebih dulu diselesaikan secara kekeluargaan. Kalau gagal, silakan menggunakan jalur hukum dengan segala risikonya. "Sekalipun pelanggaran hukumnya dianggap sepele, jika sudah masuk pengadilan, hakim tidak bisa menolak sidang," kata Chairil.
Sujud Dwi Pratisto, dan Arif Sujatmiko (Surabaya)
[Hukum, Gatra Nomor 42 Beredar Kamis, 3 September 2009]
No comments:
Post a Comment